Pernahkah Anda mengalami kejadian dimana Anda mengirim pesan yang bikin detak jantung meningkat dan segera memutuskan sambungan data pasca tekan tombol kirim? Bisa saja ini merupakan pernyataan brilian, tuntutan mendadak, atau ucapan kasih sayang dengan resiko tinggi.
Di saat tersebut, tubuh Anda akan merasakan tekanan adrenalin. Sebagai gantinya dari menghadapi respons potensial yang segera timbul—misalnya seperti bintik-bintik yang menunjukkan orang lain sedang menulis atau respon yang mungkin kasar—you lebih memilih untuk mencabut koneksi internet.
Sepertinya Anda sedang mengunci ketakutan untuk sebentar saja. Hal ini mungkin tampak sebagai tindakan gegabah biasa, namun di baliknya kerap terdapat rasa takut yang lebih besar yang menjadi penyebab dari pengambilan keputusan tersebut.
Kecewa itu bukan cuma tentang hasrat untuk menghindari realitas, tapi juga berhubungan dengan persepsi diri, ikatan emosional, serta keraguan yang bisa timbul.
Dilansir dari Geediting pada Jumat (25/4), berikut adalah enam ketakutan yang mungkin ada dalam dirimu jika seringkali mematikan internet setelah mengirim pesan yang berisiko:
1. Rasa Takut Terhadap Penolakan Langsung
Salah satu sebab utama orang memilih untuk mencabut koneksi internet adalah agar tidak merasakan penderitaan karena ditolak secara instan, atau bahkan hal yang lebih menyakitkan—ketidakadaan komunikasi.
Sebagai contoh, jika Anda mengekspresikan emosi yang kuat dan siap untuk menerima respons negatif. Dengan mematikan koneksi Wi-Fi, paling tidak Anda tidak akan segera menyaksikannya.
Rasanya takut ini biasanya bermula dari kenangan masa kecil, misalnya saat orangtua membatasi gagasan Anda atau ketika kakak tertawa atas keprihatinan Anda. Ketika sudah menjadi orang dewasa, mencoba untuk menghadapi kembali peristiwa-peristiwa pahit itu secara langsung dapat membuat seseorang merasa begitu beban.
2. Kekhawatiran Terhadap Konfrontasi dan Pertanyaan yang Menantang
Mematikan internet juga menjadi cara untuk menghindari balasan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Jika kamu merasa lawan bicaramu mungkin akan merespons dengan pertanyaan seperti “Apa maksudmu?” atau “Kenapa kamu mengatakan itu?”, percakapan bisa dengan cepat berubah menjadi konfrontasi yang mengharuskanmu memberikan klarifikasi yang belum siap untuk diungkapkan.
Bagi sebagian orang, kemungkinan adanya percakapan yang berlarut-larut dan menempatkan mereka dalam posisi yang sulit adalah sesuatu yang mereka takuti. Oleh karena itu, lebih baik untuk menunda respons tersebut.
3. Ketakutan Akan Kehilangan Kendali dalam Komunikasi
Sebagian orang merasa lebih tenang saat mampu menentukan arah pembicaraan, dan metode yang digunakan adalah dengan menyampaikan pesan berisiko lalu sedikit menjauh. Melalui pendekatan seperti itu, mereka diberi kesempatan untuk mengatur emosi dirinya sebelum bertemu respons dari pihak lainnya.
Kebutuhan untuk memegang kendali sering kali menunjukkan rasa tidak aman tentang bagaimana kuasa tersebar dalam suatu hubungan. Bila sebelumnya Anda pernah merasakan ketiadaan daya—seperti sering ditekan oleh orangtua atau saudara yang otoriter—maka mungkin Anda berupaya mendikte alur percakapan agar terhindar dari situasi sulit atau sensasi diperas waktu akibat respons yang tiba-tiba dan cepat.
4. Kekhawatiran Mengenai Ketidaktentuan dan Peluang Tidak Terduga
Tidakk certainty dapat menjadi elemen tak terduga lainnya. Saat Anda mencatat aktivitas ketikan orang lain atau mereka tampak sebagai status "sedang online," pikiran Anda mungkin akan membayangkan situasi-situasi yang membingungkan dan mengkhawatirkan, misalnya "Bagaimana jika respons mereka malah menyakitkan?" atau "Bagaimana jika mereka mendiskusikan pesan ini dengan pihak lain?"
Menonaktifkan koneksi online dapat membekukan aliran ide-ide yang terus bergulir dalam benak Anda. Di tengah keraguannya, sebenarnya ada rasa tenang karena Anda tak perlu serta-merta menyongsong hasilnya yang mungkin bertolak belakang dengan keinginan Anda.
5. Ketakutan Terhadap Perasaan Tidak Nyaman atau Malu
Terkadang, apa yang kita sampaikan dalam pesan bisa menjadi hal yang sungguh privat—seperti ungkapan emosi, umpan balik tanpa ampun, atau narasi personal. Bagaimana bila si penerima merasakan bahwa isi tersebut terlalu sepele atau berlebihan? Atau apabila curahan hatimu tidak disambut dengan baik hingga menimbulkan ketidaknyamanan?
Dengan mematikan notifikasi, Anda dapat mengelakkan momen-momen yang mungkin menyebabkan perasaan tidak nyaman, misalnya ketika melihat seseorang sedang membaca pesan Anda sehingga Anda merasa malu atau canggung. Rasa takut akan malu tersebut biasanya datang dari pengalaman masa lalu di mana kita menjadi objek bully atau dilewatkan saat mengekspresikan kelemahan kita.
6. Kekhawatan Tentang Berinvestasi Terlalu Banyak Dalam Hal Emosi
Pada akhirnya, terdapat individu yang memilih keluar dari interaksi langsung demi menghindari kedalaman ikatan emosi. Mengirim pesan dengan nuansa emosional bisa berarti membuka diri pada tingkat keterkaitan yang lebih intens—entah itu rasa gembira, cinta, hingga kesedihan dan kekecewaan.
Dengan menonaktifkan ponsel, Anda mengurangi hubungan dengan emosi tersebut, seperti sedikit memberi jeda agar dapat melindungi diri sendiri dari kekuatan perasaan yang berpotensi timbul. Hal ini bisa menjadi pengalaman signifikan bagi orang-orang yang mencari koneksi namun ragu untuk sepenuhnya terlibat, akibat rasa takut akan ikatan emosional yang semakin kuat.
Apabila Anda kerap mencopot koneksi internet sesudah mengirim pesan yang beresiko, Anda bukanlah satu-satunya. Banyak individu yang berselancar dalam kombinasi perjuangan masa lalu, kekhawatiran akan privasi, serta asumsi tak tersampaikan tentang respons orang lain.
Terkadang, menonaktifkan koneksi internet tampaknya lebih sederhana dibanding harus menghadapi berbagai skenario yang muncul. Akan tetapi, dengan menyikapi rasa takut tersebut, kita dapat perlahan-lahan mulai mengatasinya.
Apabila Anda merasa gelisah saat menonaktifkan Wi-Fi sesudah mengirim pesan berbahaya, cobalah untuk istirahat sebentar. Coba tanyakan kepada diri sendiri, "Sebenarnya apa yang ingin sayahindari? Adakah rasa takut penolakan, ataukah ada alasan lain yang menyebabkan kecemasan ini?"
Oleh karena itu, Anda bisa semakin memahami sebab dari rasa takut tersebut dan mulai belajar untuk menyongsong tanggapan, apakah itu positif maupun negatif, dengan sikap yang lebih terbuka.