Lentera di Tengah Kegelapan: Cerita Pengabdian yang Bercahaya dalam Kemudahan
Di pinggiran kota yang jarang terkena sinar lampu sorot, seiring derasnya arus aktivitas orang-orang sibuk, mereka melaksanakan tugasnya dalam kediaman. Jemari-jemari keras akibat pekerjaan mengais rezeki, langkah-langkah tegar dari para pendayung usia lanjut, serta semangat tanpa pamrih membimbing mereka. Mereka bukanlah tokoh super bermahkota mantel namun insan awam yang mempersembahkan dirinya setiap hari. Kisah ini menceritakan tentang pengorbanan lebih besar daripada sekadar pengecut matahari; ia adalah narasi tentang nyawa-nyawa yang membersihkan alam semesta sesuai cara mereka sendiri.
Tiap pagi saat fajar, waktu kabut masih menutupi jalan-jalan, Pak Topo telah berada di halaman sekolah dengan sapu lidi di tangannya. Sebelum dering pertama sekolah berbunyi, dia tidak hanya membersihkan debu namun juga mengumpulkan sampah-sampah yang dibawa oleh angin semalam. Dia berkata sambil tersenyum, “Ini adalah sebuah ibadah, Mas. Membersihkan area belajar para anak ini sama saja seperti membersihkan hatiku.” Ketika waktunya untuk pulang sekolah tiba, tanpa ragu-ragu ia membopong ransel murid-murid yang sedang sakit atau menjaga mereka hingga orang tua datang untuk menjemputnya. Matanya bersinar seraya menerangkan, “Aku selalu ingat nasihat dari istrimu; ukuran bukanlah masalah utama, apa yang paling penting adalah kejujuran dan ikhlas.”
Di sekitarnya, tepat di sudut pasar, Nenek Ina (72) duduk tenang di kursi kayu usia tua itu. Di hadapannya terdapat tumpukan dedaunan papaja yang masih segar dan tertata dengan rapi. Setelah sang suami meninggal dunia sepuluh tahun lalu, dia telah melalui perjalanan kaki dua kilometer menuju ladang pertanian setiap hari senja demi mendapatkan hasil tanaman tersebut. “Saat dahulu aku menjual barang-barang ini sembari merengegkan nasib. Namun saat ini, setiap kali beranjak ke ladang bagiku seperti ibadah,” katanya seraya memegang rosario dalam sakunya. Dia menabung semua pendapatan dari penjualan untuk membayar biaya pendidikan bagi cucunya yang menjadi anak yasip. “Tuhan tidak pernah istrahat. Asalkan kita selalu jujur maka rejeki pasti akan ada,” gumamnya lembut.
Di halaman gereja, Pak Sugeng (58) mengelap keringatnya menggunakan handuk usang. Tiap hari Sabtu dan Minggu, dia hadir di sana sebelum ibadah pagi dimulai dan baru meninggalkannya setelah ibadah petang berakhir. Daun-daun yang menjatuhi, bekas makanan, maupun botol-botol kosong senantiasa dibersikannya tanpa ada keluhan apalagi protes. “Sekali waktu saya geram ketika para jemaah membuang sampah seenaknya sendiri. Namun Pastor berkata bahwa kita membersihkan bukanlah karena mereka kotor, tetapi karena kita dapat menunjukkan cinta,” tuturnya. Uang dari amplop yang berisikan bagian dari gajinya ia simpan tiap bulan guna didonasikan kepada panti jompo terdekat.
Pada saat yang sama, dalam gedung perpustakaan sebuah Sekolah Dasar, Bu Dio (69), lengkap dengan kacamatanya yang jernih, tetap setia merapihkan buku-buku pelajaran. Wanita pensiunan Pegawai Negeri Sipil ini lebih memilih menolak undangan menjadi pengajar di institusi les bergengsi. Dia berkata, “Disinilah saya dapat bertemu dengan anak-anak yang butuh panduan, bukannya hanya fokus pada prestasi.” Pendapatannya sebagian digunakan oleh dia untuk membelikan pakaian seragam kepada para murid kurang beruntung. Tiap hari Jumat pagi, beliau melaksanakan puasa sunat dan mengundang murid-muridnya untuk shalat berjemaah. Suatu waktu dia menjelaskan bahwa, “Puasa tak cuma tentang penahanan lapar, namun juga pendisiplinan diri agar kita terus percaya akan kemungkinan baik.”
Di ujung koridor, Lia (27), guru muda berjilbab merah muda, duduk mendengarkan curhat Siska, siswinya yang orang tuanya bercerai. Meski gaji kecil dan hidup sendiri di rantau, ia kerap mengadakan kelas bimbingan gratis setiap akhir pekan. "Saya ingat kata Mama: Jadilah pelita bagi yang kehilangan bulan," ujarnya sambil memeluk Siska. Kamar kosnya yang sederhana selalu terbuka untuk murid-murid yang ingin belajar atau sekadar berbagi cerita.
Mereka mungkin tidak pernah tampil dalam berita utama media massa. Mereka juga tidak mendapatkan trofi ataupun sertifikat apresiasi. Tetapi di balik layar, tiap kali menyapu jalan, menjual sehelai dedaunan pun demikian merapikan buku-buku satu persatu; serta memberi sebuah pelukan hangat - semua hal tersebut merupakan bagian dari ceritanya sendiri yang dibacakan secara hormat. Selayaknya lilin kecil pada saat malam hari: meski tak bisa membalikkan malam menjadi siang, cahaya lemah ini sudah cukup membantu agar orang lain dapat tetap menemui jalannya tanpa tersesat.
Di tempat ini, puasa tidak berakhir ketika matahari terbenam. Ia bersinar melalui gerakan-gerakan sederhana yang selalu mengandung makna: bahwa kejujuran, pengorbanan, serta kesabaran merupakan bahasa universal kasih sayang yang dikenali oleh setiap agama. Dalam kediamannya, Tuhan tentu saja tersenyum.
Bagi mereka puasa adalah seluruh perjalanan hidup, perjalanan penyerahan atau kepasrahan kepada kehendak Sang Pemilik Kehidupan. Puasa yang sesungguhnya adalah membuka hati selebar-lebarnya agar Yang Maha Kuasa masuk, mendiami dan menggerakkan hidup kita dengan penuh cinta.
Orang-orang yang tampak biasa bagi kita, yang setiap harinya mungkin asyik mencari tempayan retak, atau bahkan mempunyai ember tergantung di bahunya, adalah mereka-mereka yang ikhlas mendidik kita akan arti hidup. Pelajaran ini disampaikan tanpa perlu banyak bicara. Mereka memberikan pengajaran melalui tindakan sehari-hari tanpa harus menonjolkan kemahirannya berbicara tentang kesabaran pada Tuhan.
Mudah-mudahan, sepanjang bulan suci ini, kita sering menjumpai orang-orang yang secara konsisten menyemangati kita—lagi-lagi—nota bene bukan melalui gagasan gemerlap, tapi lewat kehidupannya yang otentik serta sikap mereka yang terbuka kepada sesama.